Kawah Ijen merupakan sebutan populer di kalangan pendaki ataupun wisatawan. Lokasinya di Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi. Kenapa sering disebut Kawah Ijen? Karena kawah ini unik. Memiliki api biru atau blue fire yang langka di dunia. Selain di Ijen, blue fire
![]() |
foto: http://survival491m.blogspot.co.id/ |
![]() |
kemping dengan anak di Gunung Ijen menyenangkan |
![]() |
kawah ijen pagi hari. |
Sudah sejak awal kami yang membawa anak kami yang masih berusia 5 tahun merencanakan untuk tidak melakukan pendakian melainkan kemping saja di sekitar Lereng Ijen. Sambil nunggu kawan-kawan pulang mendaki kami akan berjalan-jalan di sekitar lereng. Pasti anak saya memiliki pengalaman menyenangkan.
Tengah malam, dari Hotel Ketapang Indah Banyuwangi kami dijemput deretam jeep. Masing-masing jeep berisi 4 orang. Perjalanan kami isi dengan ngobrol dengan driver soal wisata-wisata petualangan di Banyuwangi (jangan ditiru, harusnya nggak boleh ya, ngobrol sama supir, apalagi di jalanan yang curam dan berliku menuju lereng Ijen). Di jalanan dini hari itu kami banyak melihat mobil-mobil mogok, gak kuat dipakai mendaki. "Kalau ke sini jangan pakai mobil alusan. Harus sebangsa jeep. Sopirnya juga harus pinter. Sepi gini, kalau mogok susah cari pertolongan dan mahal," kata pak sopir.
Satu setengah jam kami sampai di pelataran parkir Pos Pedakian Paltuding. Berderet-deret mobil parkir si situ. Padahal bukan hari libur. Di pos ini deretan warung bisa dimanfaatkan untuk membeli air mineral dan roti pengganjal perut selama perjalanan.
Karena keluarga kecil saya hanya ingin kemping dan tidak mendaki, kami menyewa tenda di salah satu warung di lereng Gunung Ijen. Tarif sewa tenda semalam, lengkap selimut dan bantal gulingnya sebesar Rp 100.000.
Kami dirikan tenda di sekitar pepohonan di dekat rute pendakian. Kami juga mencari ranting-ranting kering untuk dijadikan kayu bakar. Api unggun kecil kami nyalakan untuk menahan hawa dingin. Tak cuma itu kami juga membakar singkong dan kentang yang kami peroleh juga di warung. Sepoanjang malam saya tak henti-hentinya makan. Entah itu mie instan (kami pesan dari warung), biskuit, kentang dan ketela bakar. Minumnya? Kopi jahe yang rasanya jos gandos.
Di warung terdekat dengan tenda, saya sengaja memesan kopi jahe yang diberi gula aren. Anak saya yang masih beruusia 5 tahun bahkan nimbrung minum kopi saya. hehehe
Malam berlalu dengan indah penuh kebersamaan keluarga. Belum pernah kami melihat anak kami sebahagia itu.
Sebetulnya menjelang fajar kami berniat jalan-jalan di sekitar lereng. Anak kami bahkan menanyakan apakah ada kuda yang bisa dinaiki (seperti di lokasi wisata lain)? Saya cari info, ternyata belum ada persewaan kuda seperti itu.
Tapi ketiadaan kuda digantikan hiburan lain yang lebih edukatif. Saat fajar menjelang banyak penambang belerang yang lalu lalang di sekitar tenda dengan perlengkapannya. Dia bertanya dan bertanya. Kami pun menjawab dan menjawab. "Apa itu belerang, Bu?" "Mencari Belerang buat apa?" Dan sebagainya, khas pertanyaan anak-anak.
Menurut saya, Gunung Ijen masih natural, tidak neko-neko ataupun dibuat neko-neko dan menyesuaikan tuntutan kebituhan pelancong. .
Kawan-kawan saya yang ikut mendaki tidak semuanya kuat sampai ke punvak. Yang bisa sampai ke puncak sangat gembira karena melihat blue fire dan menjelang matahari terbit mereka selfie-selfie di sekitar kawah ijen yang indah berwarna biru kehijauan. Atau mereka juga berpose dengan bapak-bapak pencari belerang. Oh ya, Pendakian memakan waktu 2,5 - 3 jam.
Seperti ini kebahagiaan kawan-kawanku yang bisa sampai ke Kawah Ijen menjelang terbit fajar. Foto-foto di bawah ini merupakan dokumentasi Bapak Uke Ardiansyah Ungsi, salah satu kolega.
Karena keluarga kecil saya hanya ingin kemping dan tidak mendaki, kami menyewa tenda di salah satu warung di lereng Gunung Ijen. Tarif sewa tenda semalam, lengkap selimut dan bantal gulingnya sebesar Rp 100.000.
Kami dirikan tenda di sekitar pepohonan di dekat rute pendakian. Kami juga mencari ranting-ranting kering untuk dijadikan kayu bakar. Api unggun kecil kami nyalakan untuk menahan hawa dingin. Tak cuma itu kami juga membakar singkong dan kentang yang kami peroleh juga di warung. Sepoanjang malam saya tak henti-hentinya makan. Entah itu mie instan (kami pesan dari warung), biskuit, kentang dan ketela bakar. Minumnya? Kopi jahe yang rasanya jos gandos.
Di warung terdekat dengan tenda, saya sengaja memesan kopi jahe yang diberi gula aren. Anak saya yang masih beruusia 5 tahun bahkan nimbrung minum kopi saya. hehehe
Malam berlalu dengan indah penuh kebersamaan keluarga. Belum pernah kami melihat anak kami sebahagia itu.
Sebetulnya menjelang fajar kami berniat jalan-jalan di sekitar lereng. Anak kami bahkan menanyakan apakah ada kuda yang bisa dinaiki (seperti di lokasi wisata lain)? Saya cari info, ternyata belum ada persewaan kuda seperti itu.
Tapi ketiadaan kuda digantikan hiburan lain yang lebih edukatif. Saat fajar menjelang banyak penambang belerang yang lalu lalang di sekitar tenda dengan perlengkapannya. Dia bertanya dan bertanya. Kami pun menjawab dan menjawab. "Apa itu belerang, Bu?" "Mencari Belerang buat apa?" Dan sebagainya, khas pertanyaan anak-anak.
Menurut saya, Gunung Ijen masih natural, tidak neko-neko ataupun dibuat neko-neko dan menyesuaikan tuntutan kebituhan pelancong. .
Kawan-kawan saya yang ikut mendaki tidak semuanya kuat sampai ke punvak. Yang bisa sampai ke puncak sangat gembira karena melihat blue fire dan menjelang matahari terbit mereka selfie-selfie di sekitar kawah ijen yang indah berwarna biru kehijauan. Atau mereka juga berpose dengan bapak-bapak pencari belerang. Oh ya, Pendakian memakan waktu 2,5 - 3 jam.
Seperti ini kebahagiaan kawan-kawanku yang bisa sampai ke Kawah Ijen menjelang terbit fajar. Foto-foto di bawah ini merupakan dokumentasi Bapak Uke Ardiansyah Ungsi, salah satu kolega.
![]() |
kawah ijen menjelang matahari terbit |
![]() |
kawah ijen jelang matahari terbit |
![]() |
kawah ijen jelang matahari terbit |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar